Polemik tentang Undang-undang Pelayaran masih
berlanjut dengan disahkannya Undang-undang ini. UU Pelayaran ini merupakan revisi
dari UU no.21 tahun 1992 dimana pemerintah / Departemen Perhubungan merencanakan
berusaha merubah kembali penyelenggaraan pelabuhan menjadi Instansi Pemerintah
dengan nama Badan Penyelenggara / Otoritas Pelabuhan serta menarik kembali asset
dan tanah pelabuhan dari PELINDO. Sungguh ironi memang mengingat tahun 2007 lalu
PELINDO merupakan Perusahaan yang meraih predikat “SEHAT” dan salah
satu BUMN yang memberikan kontribusi terbesar bagi negara berupa Dividen harus
dipaksa masuk “ICU” karena satu kebijakan yang keliru.
Substansi
dari UU Pelayaran terdiri dari 3 substansi yang berbeda yaitu: Angkutan di perairan
atau pelayaran, keamanan dan keselamatan maritim serta kepelabuhanan. Pada kolom
ini penulis akan membahas bab khusus mengenai kepelabuhanan sesuai dengan bidang
yang didalami. Perubahan peran PELINDO
dari
Port
Authority menjadi Terminal Operator
dalam istilah kepelabuhanan biasa disebut reorganization of port management
arrangements. Re-organisasi manajemen di Pelindo sendiri telah mengalami
sejarah yang cukup panjang yaitu s/d 17 Agustus 1945 dimana pelabuhan dilaksanakan
oleh Perusahaan Pelabuhan (Haven Bedvijen) dan system keuangan berpedoman pada
IBW. Sejak tahun 1991-Sampai saat ini status penyelenggaraan pelabuhan berubah
menjadi Perusahaan Persero (PT) agar nuansa birokratis dapat dieleminir dan
pola perusahaan dapat lebih efektif agar jasa kepelabuhanan dan pelayanan dapat
lebih ditingkatkan. Tahun 2008, revisi Undang-undang Pelayaran Departemen Perhubungan
merubah kembali Penyelenggaraan pelabuhan
menjadi Badan Penyelenggara Pelabuhan yang berarti harus set back ke
tahun 1969-1983.
Dua hal penting yang perlu kita perhatikan dari restrukturisasi organisasi pelabuhan adalah dalam proses reorganisasi manajemen pelabuhan tersebut public sector tetap memegang peranan utama dan pemerintah memberikan jaminan tidak ada masalah di sektor perburuhan /peaceful industrial relation & employment terms for the workers (UNCTAD,1995, comparative analysis of deregulation, commercialization and privatization of ports). Kedua hal tersebut yang seharusnya menjadi pertimbangan pemerintah dalam menangani reorganisasi di pelabuhan. Pemerintah dalam hal ini Departemen Perhubungan berusaha untuk mengadopsi konsep Terminal Operator (TO) yang ada di negara lain. Yang menjadi pertanyaan bisakah konsep TO tersebut diterapkan di Indonesia?.
Professor Shou Ma dari World Maritime University menyatakan “tidak ada satu pelabuhan-pun di dunia ini yang mempunyai persamaan baik dari fisik bangunan maupun manajerial”. Dari pengalaman penulis meninjau pelabuhan-pelabuhan di Eropa dan sebagian di Asia konsep TO tersebut hanya akan berhasil diimplementasikan pada one single port. Sedangkan Pengelolaan Pelabuhan komersial di Indonesia yang dilaksanakan oleh PELINDO sifatnya sangat unik yaitu Pelabuhan surplus/untung akan mensubsidi pelabuhan yang rugi (cross subsidy). Di Pelindo 3 misalnya, dari 43 pelabuhan yang dikelola, hanya 11 pelabuhan saja yang bisa meraup laba sedangkan 32 pelabuhan masih rugi. Sehingga apabila konsep TO tersebut ¿dipaksakan¿ maka rasionalisasi pegawai tidak dapat dihindari.
Campur tangan pemerintah dalam Undang-undang Pelayaran ini sangat besar sekali dimana pemerintah berusaha untuk mengambil 2 peranan sekaligus yaitu sebagai operator sekaligus regulator. Kalau kita melihat trend perkembangan pelabuhan di dunia, maka pelabuhan cenderung untuk mengurangi peran pemerintah dalam mengurus pelabuhan. Bahkan salah satu pelabuhan terbesar di Eropa yaitu Port of Rotterdam secara perlahan-lahan mengurangi peranan pemerintah dalam mengurus pelabuhan. Setelah tahun 2004 Port of Rotterdam tidak lagi diurus oleh Municipality (PEMKOT) namun oleh satu badan usaha. Port Authority berbentuk BUMN juga terdapat di Philipina, Thailand dan Belanda. Alfred Baird dari Napier University berpendapat banyak sekali excess negatif apabila Port Authority dilaksanakan oleh pemerintah. Panjangnya proses birokrasi sehingga mengakibatkan lambatnya pengambilan keputusan untuk berinvestasi menjadikan pelabuhan sulit untuk berkembang. Stigma tidak professional dan tidak efisien yang terlanjur melekat pada instansi pemerintah merupakan alasan lain yang membuat investor enggan untuk berinvestasi di pelabuhan.
Penulis menilai tidak ada urgensi sama sekali reorganisasi dari Port Authority menjadi Terminal Operator di PELINDO dengan pertimbangan, Pertama, PELINDO masuk dalam kategori perusahaan SEHAT sehingga tidak perlu dilakukan perubahan mendasar bidang manajerial. Ibarat bangunan rumah bocor, tidak perlu harus merobohkan seluruh bangunannya. Kedua, akan berpotensi menjadi beban negara misalnya: Biaya operasi BPP, biaya pengusahaan pelabuhan yang masih merugi, biaya investasi yang selama ini menjadi tanggung jawab PELINDO. Disamping itu pemerintah juga berpotensi ikut bertanggung jawab terhadap timbulnya permasalahan ketenagakerjaan, bertanggung jawab terhadap hutang perusahaan juga bertanggung jawab terhadap pembiayaan investasi yang belum selesai. Ketiga, TO berpotensi merubah misi yang diemban PELINDO yaitu peningkatan pelayanan kepada pelanggan menjadi optimalisasi profit. Keempat, Potensi timbulnya konflik antar Perusahaan Bongkar Muat (PBM) dimana PBM sebagai salah satu syarat Terminal Operator (TO) nantinya akan berusaha merebut pasar yang telah ada.
Tidak mudah bagi PELINDO untuk bersaing dengan badan usaha non BUMN seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang Pelayaran ini. Dalam masalah tariff misalnya, terdapat komponen wajib pungut PPN yang dikenakan kepada BUMN sedangkan untuk perusahaan swasta tidak, disamping itu perusahaan non BUMN(swasta) tidak ada kewajiban untuk membayar deviden kepada negara. Penulis sangat setuju dengan konsep persaingan, dalam artian kompetisi pelabuhan dengan pelabuhan yang lain dan juga kompetisi TO di pelabuhan dalam hal kompetisi pelayanan.
Langkah yang paling bijak untuk saat ini yang harus ditempuh pemerintah menurut hemat penulis adalah mencabut bab khusus yang mengatur masalah kepelabuhanan dari UU pelayaran tersebut karena substansi yang diatur dalam UU tersebut terlalu luas dan tidak fokus dan juga mengingat kompleksitas permasalahan yang ada di pelabuhan maka diperlukan Undang-undang tersendiri yang mengatur masalah kepelabuhanan. Yang kedua, konsep TO tersebut diterapkan pada pelabuhan yang baru dan bukan pada PELINDO.
* Penulis adalah Pemerhati Pelabuhan, Alumni dari World Maritime University-Swedia jurusan Port Management.