JAKARTA : Aturan penggunaan bendera Indonesia (cabotage) bagi kapal angkutan laut diwacanakan untuk direvisi, karena berpotensi menghambat eksplorasi minyak dan gas di lepas pantai yang pada gilirannya mengganggu produksi (lifting) dan penerimaan negara.
Hatta Rajasa, Menteri Kordinator Perekonomian, berencana melonggarkan penerapan asas cabotage bagi kapal pengeboran minyak dan gas lepas pantai dengan mewacanakan revisi Undang-Undang No.17/2008 tentang Pelayaran.
“Kita akan bicarakan itu dengan DPR, mungkin akan dilakukan revisi UU. kalau tidak, maka akan terkunci semuanya. Karena indonesia masih terus menyewa alat-alat tersebut, tidak ada yang berbendera Indonesia,” ujar dia di kantornya hari ini.
Hatta menambahkan dalam rapat kordinasi tingkat menteri pada hari ini, terungkap adanya gangguan dalam eksplorasi sumur migas di laut terdalam Indonesia akibat implementasi asas cabotage yang sangat kaku.
Hal tersebut jika tidak dibenahi akan menganggu produksi (lifting) migas pada 2011 yang sebesar 970 ribu barel per hari (bph).
“Kalau lifting tidak tercapai, ada pengaruhnya terhadap penerimaan negara dari sektor migas. Lifting itu langsung berhubungan dengan penerimaan negara (dari sektor migas),” tegasnya.
Berdasarkan UU No.17/2008 asas cabotage sudah harus diterapkan pada tahun ini yang berkonsekuensi pada porsi kepemilikan kapal oleh asing maksimal hanya 49%. Sejauh ini ada jenis kapal asing dengan spesialisasi yang belum bisa dimiliki oleh orang Indonesia, a.l. Drilling Ship, Jack up Rig, Seismic, dan Construction.
“Kalau barang itu (kapal) itu tidak ada, eksplorasi kita akan terganggu. Kita butuh tipe-tipe tersebut sekitar 235 selama 2011 hingga 2015,” tuturnya.
Menurutnya, masalah cabotage tersebut menyebabkan investor di sektor migas merasa belum mempunyai kepastian usaha karena rignya tidak ada di Indonesia. Pasalnya, kapal-kapal eksplorasi biasanya tidak menetap, hanya eroperasi beberapa minggu di Indonesia, kemudian melakukan eksplorasi di negara lain.
Sementara, lanjut dia, biaya sewa kapal pengebor lepas pantai per harinya mencapai US$100 ribu per hari. “Bayangkan, sewa tiap harinya hampir Rp1 miliar, kalau membeli sendiri tidak memungkinkan.”
Selain untuk kapal untuk pengeboran, lanjut Hatta, penggunaan kapal berbendera asing di Indonesia terus menurun yang saat ini jumlahnya tinggal 56 kapal, sedangkan kapal erbendera Indonesia jumlahnya mencapai 90% atau sekitar 500 kapal. Sementara itu, diproyeksikan pada 2011 kapal berbendara asing hanya tinggal 4 % atau 24 kapal, sedangkan yang berbendera Indonesia menjadi 582 kapal.
Sebelumnya, Kementerian ESDM telah mengajukan surat rekomendasi pemberian dispensasi penggunaan 10 unit kapal berbendera asing oleh PT ConocoPhilips Indonesia ke Kemenhub dengan alasan kapal itu belum tersedia di Indonesia. Kementerian ESDM itu memberikan rekomendasi permohonan dispensasi penggunaan kapal asing mengingat kegiatan pengeboran migas lepas pantai dalam rangka ketahanan energi nasional, peningkatan penerimaan negara dan peningkatan investasi dan kapasitas nasional.
Surat No.15752/10/DJM.B/2010 tertanggal 25 Juni 2010 tersebut menjelaskan berdasarkan hasil evaluasi, kapal-kapal tersebut telah memenuhi persyaratan kelaikan dengan bukti kepemilikan sertifikat yang masih valid.
Surat yang ditandatangani Dirjen Migas Kementerian ESDM Evita H. Legowo itu menyebutkan untuk pengembangan minyak dan gas di Blok B Laut Natuna, Blok Amborip VI dan Blok Laut Arafura, PT ConocoPhilips Indonesia memerlukan sejumlah kapal berjenis tertentu.
Kapal yang dibutuhkan adalah jenis floating storage and offloading (FSO), LPG FSO, tender assist rig, anchor handling and tug supply (AHTS), warebarge, jack up rig, dan FMPV (fast multi purpose vessel). (sut)
sumber:bisnis.com