Pelabuhan Cabang tanjung Emas telah siap
telah siap melayani bongkar muat petikemas domestik.
Tetapi kesempatan belum muncul
SEJAK jaman “kuda gigit besi”, Pelabuhan Semarang sudah dikenal sampai ke mancanagara seperti India, China hingga Eropa, karena dari pelabuhan tua ini banyak terdapat barang dagangan yang sangat diperlukan oleh bangsa-bangsa lain. Kondisi seperti itu ternyata berlanjut hingga saat ini, ketika Tanjung Emas yang merupakan gerbang laut utama Provinsi Jawa Tengah telah menjadi dua unit usaha: Terminal Peti Kemas Semarang dan Pelindo III Cabang Tanjung Emas.
Masing-masing unit usaha tersebut dikelola oleh Managemen Cabang kelas-1, tetapi antara keduanya memiliki spesifikasi operasional yang berbeda. Kegiatan TPKS terfokus pada usaha pelayanan bongkar muat petikemas internasional. Sedangkan di Pelabuhan Cabang Tanjung Emas yang juga terbuka untuk perdagangan internasional, lebih bertumpu pada ekspor/impor kargo konvensional, pelayaran antarpulau dan kapal penumpang serta cruises yang mengangkut wisatawan internasional dalam perjalanan keliling dunia.
Padahal sebenarnya pada Cabang Tanjung Emas juga tersedia fasilitas untuk melayani kegiatan bongkar muat petikemas domestik.
Jalur Kalimantan
“Sejak beberapa tahun lalu kami sudah menyiapkan dermaga untuk pelayanan kapal-kapal pengangkut petikemas antar pulau, yang selain memberi peluang bagi kinerja cabang juga akan dapat mendukung operasional TPKS” jelas General Manager Pelabuhan Tanjung Emas Bambang Subekti kepada Dermaga beberapa waktu lalu.
Fasilitas dermaga yang terletak di depan kantor cabang itu, dibangun tiga tahun lalu yang semula merupakan fasilitas untuk bongkar muat log. Dengan kian surutnya bisnis kayu olahan, maka direncanakan untuk meningkatkan fungsi guna pelayanan petikemas. Guna mempersiapkan rencana tersebut, telah dilakukan kajian awal yang disusul dengan studi banding ke pelabuhan-pelabuhan cabang di Kalimantan. Secara topografis, jarak dari Banjarmasin, Sampit dan Kumai ke Semarang memang lebih dekat dibanding dengan jarak ke Tanjung Perak. Tetapi dalam kenyataan, perusahaan-perusahaan pelayaran lebih memiliki jalur pelayanan Banjarmasin/Sampit/Kumai ke Tanjung Perak dibanding dengan ke Tanjung Emas.
Dari hasil kajian tiap hari berbagai komoditas hasil dari Kalimantan diangkut ke Tanjung Perak dalam jumlah sekitar 200 box petikemas. Demikian pula sebaliknya dari Tanjung Perak setiap harinya lebih dari 200 box yang dikirim ke pelabuhan-pelabuhan Banjarmasin, Sampit dan kumai. Bahkan didapat fakta bahwa sebagian dari muatan ke Kalimantan, merupakan hasil produksi dari Jawa Tengah seperti rokok, air kemasan, makanan, alat rumahtanggsa dan lain-lainnya. Sebaliknya sebagian komoditas yang berasal dari Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah, dari Tanjung Perak dikirim dengan angkutan darat ke kota-kota di Jawa Tengah.
Mengapa Cabang Tanjung Emas belum mampu menjangkau peluang tersebut ?
Dari kajian masalah secara mendasar, telah ditemukan permasalahan yang antara lain berupa:
– Sejak masa sebelum kemerdekaan perdagangan, jalur perdagangan dari Kerajaan Kotawaringin, Kesultanan Banjar hingga Kesultanan Pasir secara tradisionil dilakukan oleh saudagar-saudagar asal Gresik dan Ampeldento.
– Pda saat ini perusahaan-perusahaan pelayaran dan forwarding memiliki matarantai usaha yang menghubungkan Surabaya dengan Kumai, Sampit dan Banjarmasin;
– Adanya fasilitas dan peralatan di Tanjungperak yang dinilai lebih lengkap hingga akan mampu memberi pelayanan lebih cepat yang berpengaruh pada tingkat efisiensinya lebih tinggi.
Terjadi Pemborosan ?
Dengan belum berhasil dilaksanakannya pelayanan petikemas di dermaga yang telah dibangun bertahun-tahun lalu, tentu timbul pertanyaan: apakah pembangunan fasilitas tersebut tak berarti pemborosan ?
Menjawab pertanyaan semacam itu, GM Tanjung Emas Bambang Subekti berucap: “Kalau hanya dipandang dari satu segi, bisa dianggap sebagai pemborosan. Tetapi kita harus pandai mensikapi hal tersebut. Sebab selama kegiatan pelayanan petikemas antarpulau belum bisa kami laksanakan, dermaga yang ada bisa kita manfaatkan untuk keperluan lain seperti untuk sandar kapal interinsuler yang bongkar muat kargo konvensional dan lain-lain. Lebih dari itu, kami telah menyiapkan fasilitas yang pada waktunya kelak pasti akan sangat dibutuhkan”.
Sebenarnya permasalahan yang dialami oleh Cabang Tanjung Emas seperti itu, tidaklah berdiri sendiri. Sudah menjadi kecenderungan bahwa saat ini hampir semua cabang pelabuhan, termasuk yang “kelas unyil” sekalipun sangat mendambakan agar dapat melakjukan pelayanan bongkar muat petikemas yang oleh pengguna jasa dinilai lebih efisien karena aman dan pasti.
Dengan keberhasilan menangkap peluang pelayanan petikemas, di atas kertas akan terdapat peluang meningkatnya pendapatan. Tetapi tentunya cukup difahami, ternyata masalahnya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apalagi terdapat banyak contoh soal, bahwa terdapat pelabuhan-pelabuhan seperti Tanjung Intan dan Tanjungwangi yang memiliki daerah hinterland sangat menjanjikan, tetapi obsesinya untuk meraih peluang melaksanakan pelayanan petikemas belum juga tercapai. Maka masalahnya kembali kepada “lingkaran setan” persoalan: kapal mau datang ke suatu pelabuhan karena tumbuhnya perdagangan atau sebaliknya perdagangan tergantung pada ada tidaknya kapal, yang dalam bahasa kerennya diartikulasikan menjadi jargon “ships follow the trade” atau “trade follow the ship”