Penerapan good governance sangat diyakini memberikan kontribusi yang strategis dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat, menciptakan iklim bisnis yang sehat, meningkatkan kemampuan daya saing, serta sangat efektif menghindari penyimpangan-penyimpangan dan pencegahan terhadap korupsi dan suap. Keinginan mewujudkan good governance telah sering dinyatakan baik oleh para pejabat penyelenggara negara dipusat dan didaerah, juga dunia usaha. Pertanyaannya adalah bagaimana mewujudkan good governance, serta strategi apa yang sebaiknya dilakukan untuk mewujudkannya? Pertanyaan diatas kendati mudah disampaikan tentu tidak mudah untuk menjawabnya, karena sejauh ini konsep good governance memiliki arti yang luas.
Secara ringkas bisa diartikan sebagai rambu-rambu untuk menjalankan amanah secara jujur dan adil. Banyak orang menjelaskan good governance bergantung pada konteksnya. Dalam konteks pemberantasan korupsi, good governance sering diartikan sebagai penyelenggaraan negara yang bersih dari praktek korupsi.
Dalam proses demokratisasi good governance sering mengilhami para aktivis untuk mewujudkan penyelenggara negara yang memberikan ruang partisipasi bagi pihak diluar penyelenggara itu sendiri, sehingga ada pembagian peran dan kekuasaan yang seimbang antar negara dalam arti luas (termasuk peran partai politik), masyarakat sipil, dan mekanisme pasar.
Adanya pembagian peran yang seimbang dan saling melengkapi antar ketiga unsur tersebut, bukan hanya memungkinkan terciptanya “check and balance”, tetapi juga menghasilkan sinergi antar ketiganya dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Secara umum ada beberapa karakteristik yang melekat dalam praktek good governance. Pertama, praktek good governance harus memberi ruang kepada pihak diluar penyelenggara negara untuk berperan secara optimal sehingga memungkinkan adanya sinergi diantara mereka. Kedua, dalam praktek good governance terkandung nilai-nilai yang membuat penyelenggara negara maupun swasta dapat lebih efektif bekerja dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Nilai-nilai seperti efisiensi, keadilan, dan daya tanggap menjadi nilai yang penting. Ketiga, praktek good governance adalah praktek bernegara yang bersih dan bebas dari korupsi serta berorientasi pada kepentingan publik. Karena itu praktek penyelenggaraan negara dinilai baik jika mampu mewujudkan transparansi, penegakan hukum, dan akuntabilitas publik.
Dalam konteks Kementerian BUMN, governance yang kini berlaku cenderung menyatukan kegiatan birokrasi dengan kegiatan korporasi penyelenggaraan BUMN. Dalam praktek governance semacam ini, ritme daur ulang penyelenggara mengikuti siklus pergantian politik yang berlangsung lima tahun sekali, sesuai dengan pergantian pemerintahan. Ritme yang bias pada siklus politik ini berdampak pada pergantian menteri negara pengurus BUMN, pemegang wewenang dalam lembaga Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Sebagai akibatnya, pengelola BUMN cenderung berjalan lurus dengan pasang surut partai pemenang pemilu. Maka, selalu akan terjadi pergantian pengurus BUMN seiring dengan naik dan jatuhnya kekuasaan sebuah partai pasca pemilu. Jajaran direktur dan komisaris BUMN, dengan demikian, tidak imun dari pengaruh partai-partai politik, terutama yang sedang berkuasa.
Karena itu, kami merekomendasikan sistem governance Kementerian BUMN bersifat independen, dengan Bank Indonesia (bank sentral Indonesia) sebagai modelnya. Dengan cara ini, good governance BUMN bisa diciptakan. Karena dengan sistem governance semacam itu, BUMN dan penyelenggaranya menjadi steril dari proses politik. Aset negara yang diamanahkan rakyat ke dalam wewenang penyelenggara dapat dikelola untuk kepentingan kesejahteraan rakyat yang secara teknikal dan managerial bisa dipertanggungjawabkan. Wujud kongkretnya adalah pembentukan “Badan BUMN” yang secara khusus serta profesional menjalankan bisnis sebagai perusahaan “holding“ yang melakukan kegiatan investasi.
Kami juga menenggarai pelaksanaan Public Service Obligation (PSO) yang tidak governance, karena ketidakjelasan pengelompokan BUMN dan mencampur adukan kegiatan PSO dengan bisnis murni. Secara umum BUMN dapat dikelompokkan sebagai BUMN Pionir, BUMN strategis, BUMN PSO, dan BUMN yang melaksanakan bisnis murni. BUMN Pionir sepanjang masih merugi masuk dalam kelompok BUMN PSO. Demikian juga BUMN strategis, bisa dimasukkan dalam kelompok BUMN PSO. Banyak kegiatan PSO yang sesungguhnya merupakan tanggung jawab Pemerintah menjadi beban BUMN yang ditugaskan mengejar keuntungan, tanpa kontrak yang jelas.
Salah satu rekomendasi yang bisa sekaligus menyelesaikan masalah governance diatas, adalah dengan menempatkan penyelenggaraan BUMN dibawah institusi independen seperti model Bank Indonesia. Secara prinsip, bagaimana mensterilkan penyelenggaraan BUMN dari proses politik, sehingga terhindar dari intervensi baik oleh Pemerintah, Lembaga Legislatif, maupun Partai Politik. Badan tersebut dapat bertindak secara profesional sebagaimana layaknya Perusahaan Induk Investasi Negara. BUMN yang berada dalam pengendalian Badan ini hanya BUMN yang menjalankan bisnis murni dan BUMN yang mendapatkan titipan kegiatan PSO yang didukung kontrak dengan Pemerintah.
Masalahnya, peran sebagai agen pembangunan dalam melaksanakan kewajiban pelayanan publik (PSO) seolah-olah menjadi pembenaran bagi para pejabat untuk mengatur-atur BUMN sesuai kepentingannya atau menjadi alasan merombak direksi dan komisaris BUMN yang bersangkutan.
Peran BUMN sebagai agen pembangunan yang fungsinya bisa ditafsirkan sesuka hati pejabat sudah tidak layak untuk dipertahankan saat ini. Selain tuntutan profesionalisme, BUMN juga dihadapkan pada persaingan global yang kian ketat. Tetapi para pejabat tampaknya enggan kehilangan hak istimewa untuk mengatur BUMN. Mereka tak mau bila hanya memberikan pengarahan umum. Mereka ingin masuk ke hal-hal detil yang seharusnya menjadi kompetensi manajemen.
Di sisi lain, banyak pimpinan BUMN yang kurang percaya diri, sehingga justru menyambut campur tangan tersebut sebagai sarana untuk mendekatkan diri ke pejabat tertentu guna mengamankan posisinya atau tujuan lain di luar kepentingan perusahaan.
Kasus paling gamblang tentu PT Krakatau Steel yang terpaksa menghentikan rencana investasi dan pengembangan pabrik di Cilegon, Banten, menyusul surat Wakil Presiden No. 10/WP/3/2006 yang ditujukan kepada Menteri Negara BUMN. Dalam surat itu, Wapres meminta agar Krakatau Steel ekspansi ke Kalimantan Selatan.
Jika proyek itu menguntungkan tentu tidak akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Tetapi bila proyek itu rugi, hampir dapat dipastikan akan muncul saling lempar tanggung jawab.
Logika sederhana saja. Jika Kalimantan Selatan memang mempunyai kandungan bijih besi yang besar, tak perlu Krakatau Steel, perusahaan baja kelas dunia pun akan berbondong-bondong masuk. Faktanya, BUMN pertambangan seperti PT Aneka Tambang pun enggan masuk ke sana.
Direksi BUMN, termasuk PT Krakatau Steel, harus memegang teguh aturan main yang sudah disepakati bersama. Dalam tataran makro, direksi BUMN perlu berpegang pada UU No. 19/2003 tentang BUMN sebagai landasan yuridisnya, sementara dalam tataran mikro harus berpegang pada rencana kerja perusahaan yang sudah disepakati bersama dalam RUPS.
Dalam UU BUMN, tugas utama persero adalah menyediakan barang dan atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat serta mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan. Dalam mencapai tujuan, direksi harus mengedepankan prinsip-prinsip profesionalisme, efisiensi, transparansi, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran.
Terjeratnya sejumlah direksi BUMN atau mantan direksi BUMN dalam kasus hukum, seperti mantan direktur utama Jamsostek atau Pupuk Kaltim, perlu menjadi pelajaran bagi setiap pimpinan BUMN yang kini masih dipercaya. Pada saatnya, direksi BUMN sendiri yang harus mempertanggung-jawabkan di depan hukum. (Mas Achmad Daniri, Ketua Komite Nasional Kebijakan Governance/hum@s-dan)