Kebijakan Indonesia dalam perdagangan global cenderung mengarah pada li-beralisasi perdagangan, terbukti dari laporan World Trade Indicator (WTI), Bank Dunia, yang melaporkan tarif bea masuk rata-rata hanya 7%, lebih rendah dibandingkan dengan negara anggota Asean dan Asia Pasifik yang di atas 10%.
Arah kebijakan perdagangan Indonesia memang lebih terbuka menuju liberalisasi melalui penurunan tarif bea masuk. Setidaknya ini dikatakan ekonom Perdagangan Bank Dunia – Indonesia Syamsu Rahardja.
Kerja Sama Kemitraan Indonesia Jepang (Economic Partnership Agreement/EPA) juga telah diikuti penurunan tarif banyak pos menjadi 0%. Rata-rata tarif bea masuk akan semakin rendah jika kerja sama perdagangan bebas Asean-Australia-Selandia Baru dan Asean-India Free Trade Agreement (FTA) diimplementasikan.
Salah satu tujuan penurunan tarif adalah memperlancar arus perdagangan ekspor – impor, dan investasi. Harapannya, perekonomian nasional akan bertumbuh.
Sudahkah ekspor dan investasi meningkat signifikan? Atau peningkatan yang didengung-dengungkan itu dinikmati seluruh lapisan masyarakat?
Penganjur liberalisasi perdagangan berpendapat bahkan membuat opini yang cenderung mendoktrinisasi negara miskin dan berkembang bahwa indikator pertumbuhan ekonomi adalah volume tinggi perdagangan, yang diyakini berdam- pak langsung pada pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan.
Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan kerja sama perdagangan akan semakin menurunkan hambatan tarif (tarrif barries), karena beberapa pos akan diturunkan tarif bea masuknya, sehingga volume perdagangan akan meningkat.
“Itu [penurunan tarif bea masuk] akan meningkatkan volume perdagangan, karena komoditas yang diperdagangkan berbeda masing-masing negara,” ujarnya.
Hampir semua negara Asean, kecuali Vietnam, memiliki 90% pos tarif dengan bea masuk 0%-5%. Vietnam sendiri akan menurunkan hambatan tarifnya dalam tiga tahun ke depan.
Masyarakat tak perlu khawatir dengan makin luasnya kerja sama dengan negara lain. Ini karena perdagangan berjalan sesuai dengan keunggulan komparatif dan kompetitif masing-masing negara.
Misalnya, kerja sama dengan India dapat meningkatkan ekspor kelapa sawit, sedangkan India akan mengekspor produk berbeda ke Indonesia.
Depdag memprioritaskan dua kebijakan untuk mendukung pembangunan ekonomi nasional, yakni pertum- buhan ekspor dan daya saing Indonesia serta upaya menjaga stabilitas bahan pokok dan kesejahteraan pedagang kecil.
Pertumbuhan ekspor migas ataupun nonmigas sebelumnya lebih banyak didorong oleh kenaikan harga komoditas.
Peningkatan volume ekspor produk kertas, otomotif, tekstil dan produk tekstil dan sepatu juga terbantu dengan keadaan makroekonomi dan politik Indonesia yang relatif lebih stabil dan kerja sama regional IJ-EPA yang telah diimplementasikan.
Di tengah ketidakpastian perekonomian dunia, pertumbuhan ekspor ke AS dan Uni Eropa justru di atas tren dari semula 2007 masing-masing sebesar 5% dan 11,4% menjadi 16,7% dan 19,1%.
Hanya saja, belakangan permintaan dari Negeri Paman Sam terancam mengerut akibat krisis keuangan yang melandanya.
Stabilitas harga pangan domestik ditopang peningkatan produksi dan stok yang mencukupi. Agar kestabilan harga tetap terjaga diperlukan early warning system sebagai langkah antisipatif dan koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah untuk menghindari gangguan distribusi menjelang puasa dan Lebaran.
Beberapa program
Langkah tindak lanjut yang perlu dilakukan Depdag untuk meningkatkan pertumbuhan ekspor dan daya saing adalah menjaga iklim investasi yang kondusif, mengatasi berbagai hambatan ekspor dan menjaga kelancaran arus barang, menjaga dan membuka akses pasar serta pengamanan pasar.
Selain itu perlu promosi dan pemahaman mengenai pasar, lobi dan negosiasi yang lebih intensif serta melakukan diversifikasi pasar, produk dan jasa. Tak boleh ketinggalan adalah mendorong keunggulan daerah, peningkatan mutu, desain, kemasan dan merek sejalan dengan cetak biru ekonomi kreatif.
Tidak kalah penting adalah upaya menggali dan mengembangkan potensi pasar domestik melalui pengembangan komoditas yang dapat ditingkatkan produksinya, serta promosi dan sosialisasi yang kon- sisten mengenai penggunaan produk lokal dengan menggiatkan diversifikasi pangan, kuliner tradisional, dan produk busana nasional.
Rendahnya tarif bea masuk itu, harus diantisipasi semakin banyaknya produk impor masuk ke dalam pasar dalam negeri yang dapat menjadi pe- saing yang tidak kompetitif terhadap industri dalam negeri.
Nah, pemerintah masih menjadi ujung tombak perdagangan Indonesia baik di pasar global maupun dalam negeri. Tentu saja, setumpuk pekerjaan rumah perlu diselesaikan terlebih dahulu. (oleh : Sepudin Zuhri)