Peta pertumbuhan ekonomi Provinsi Jateng
kian berubah. Tak hanya ‘berjubel’ di jalur pantura.
tetapi semakin menyebar ke ‘pedalaman’.
BERBEDA dengan perang berlatar belakang sukses yang sering berkacamuk di kerajaan-kerajaan Jawa masa lalu, maka Perang Diponegoro yang berkobar sejak tahun 1825 hingga 1830 merupakan penolakan terhadap kolonialisme. Karenanya bukan hanya kerajaan Mataram yang dibuat repot, tetapi pemerintah colonial Hindia Belanda ikut dibuat kalang kabut.
Perang Diponegoro dapat dipadamkan pada tahun 1830, tetapi kejadian tersebut menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi pemerintah colonial. Untuk menutup beban tersebut Gubernur Jenderal Van den Bosch meluncurkan kebijakan cultuurstelsel yang lebih dikenal sebagai tindakan tanam paksa.
Intinya: mengharuskan penduduk Pulau Jawa menyerahkan seperlima bagian dari tanah mereka kepada pemerintah, untuk digunakan menanam komoditas ekspor guna menyelamatkan Pulau Jawa dari krisis keuangan yang dialami pemerintah.
Pola Agraris
Pelaksanaan tanam paksa, ternyata mempunyai efek ganda bagi penduduk Jawa. Di satu sisi terjadi malapetaka yang mengakibatkan kemiskinan luar biasa, tetapi pada sisi lain penduduk Jawa mulai berkenalan dengan system pertanian dengan olah tanah yang untuk waktu itu dinilai cukup maju dibanding dengan pertanian berpindah-pindah dengan mengandalkan pengairan tadah hujan.
Berdasar latar belakang sejarah itulah, dapat diketahui mengapa sejak awalnya Provinsi Jawa Tengah serta Daerah Istimewa Jogyakarta sejak awal dikenal sebagai daerah agraris. Dalam pertumbuhan lebih jauh, kelimpahan hasil bumi Jateng berupa kopi, padi, gula dan hasil pertanian lain, berakibat munculnya gambaran bahwa Provinsi Jawa Tengah selain melahirkan para petani handal, juga muncul pengaruh lain di daerah pesisir yang paling awal mengadaptasi kepandaian berdagang dari para pedagang asal Arab, India dan China.
Simbiose mutualis antara para petani dan pedagang, membuat kawasan ini tumbuh pesat dengan gambaran stereotip: daerah pantura yang padat industri dan perdagangan, daerah selatan bagian barat yang didominasi oleh pertanian dan daerah selatan bagian timur yang cenderung memunculkan bentuk seni budaya, kerajinan dan pariwisata. Pada pertumbuhan perdagangan sempat terjadi persaingan antara tiga pelabuhan di Jateng: Semarang, Tegal dan Cilacap yang sejak 1847 yang sama-sama menjadi outlet perdagangan hasil pertanian baik untuk ekspor maupun interinsuler ke Batavia. Bahkan sampai tahun 70-an ekspor komoditas berbasis agro masih dominan terjadi di pelabuhan-pelabuhan tersebut.
Era Industrialisasi
Pertumbuhan industri di Jateng (dan Jogya), terdorong oleh sukses pelaksanaan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun), berhasil membongkar bangunan rutin sosio-ekonomi dan mengantarkannya ke era industrialisasi dan intensifikasi hasil agro Provinsi Jateng, berakibat dengan kian tingginya aktivitas di pelabuhan Semarang, hingga perlu pengembangan. Pembangunan Pelabuhan Semarang dimulai sejak tahun 1982 dan selesai pada tahun 1985. Pada tahun itu pula Presiden RI Soeharto memberi nama Tanjung Emas kepada pelabuhan tua yang sudah dikenal sejak Abad ke-16 tersebut. Meningkatnya peranan Tanjung Emas untuk kegiatan ekspor, mendorong dibukanya unit khusus pelayanan petikemas yang sejak 1 Juli 2001 menjadi usaha mandiri dengan nama Terminal Peti Kemas Semarang (TPKS).
Pelabuhan Tanjung Emas Semarang, saat ini berstatus kelas-1 dan sejak tahun 2007 yang lalu telah berhasil membuktikan sebagai cabang yang mampu memberikan kontribusi positif bagi perusahaan. Kalau beberapa tahun lalu, penmdapatannya masih harus bersaing dengan Cabang Banjarmasin bahkan dengan Cabang Kelas-2 Kotabaru, kini sudah mampu berada di posisi tiga besar bersama dengan Cabang Tanjungperak, Terminal Peti Kemas Semarang. Kalau tahun 2007 target laba Cabang Tanjung Emas ditetapkan sebesar Rp.44,3 miliar, realisasinya mampu melampaui Rp.50 miliar.
‘Berdasar posisi geografis Semarang yang berada di pusat jarakl timur-barat Nusantara dan ditopang hinterland yang terus tumbuh, maka pilihan mengembangkan Pelabuhan Tanjung Emas merupakan konsep paling tepat. Pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah saat ini mencapai 7,5 hingga 12,5% per tahun yang berarti cukup tinggi disbanding daerah lain, kecuali dengan daerah-daerah penghasil komoditas unggulan di sector energi dan pertambangan’ ujar General Manager Pelabuhan Tanjung Emas Bambang Subekti kepada Reporter Dermaga.
Pembangunan Fisik
Pada dasarnya Tanjung Emas merupakan pelabuhan yang kini mengkhususkan diri melayani bongkar muat komoditas non petikemas, tetapi berkat adanya potensi daerah penunjang di Jateng dan DIJ. Maka kinerja operasionalnya cukup signifikan. Lebih-lebih ketika Tanjung Emas juga masuk dalam deretan pelabuhan persinggahan bagi kapal-kapal wisata internasional berbendera asing, yang dalam pelayaran keliling dunia mencantumkan berbagai obyek wisata di Jateng dan DIJ sebagai tujuan. Arus kunjungan kapal di Tanjung Emas tahun 2007 lalu tercatat 3.381 unit dengan bobot 14,4 juta DWT
‘Khusus untuk kapal wisata, pada tahun lalu terjadi 12 call. Seharusnya tahun ini akan terjadi 18 call, tetapi sampai dengan semester pertama 2008 masih baru terjadi 4 call. Gejala seperti ini biasa terjadi dalam bisnis pariwisata yang sangat dipengaruhi oleh banyak factor seperti kondisi perekonomian global, gangguan keamanan di suatu bagian dunia dan adanya issue-issue politik di Negara tujuan atau persinggahan. Harus diakui bahwa dari kunjungan kapal wisata seperti itu, akan terjadi peluang pendapatan yang tidak kecil. Sebab dari biaya sandar untuk 10 jam di dermaga, muncul peluang pendapatan sekitar US $.24.000, atau lebih dari Rp.200 juta. Dari kunjungan kapal wisata juga terjadi nilai tambah yang dapat diraih oleh masyarakat sekitar daerah tujuan wisata’ jelas General Manager Pelabuhan Tanjung Emas Bambang Subekti.
Optimisme bakal terjadinya peningkatan potensi hinterland yang jadi salah satu daerah paling diminati oleh investor. Untuk mengantisipasi pertumbuhan ini, sejak beberapa tahun lalu Pemprov Jateng telah menyiapkan peningkatan sarana dan prasarana pada jalur penghubung antar kota dari arah barat maupun timur ibukota Provinsi, dengan ruas jalan lingkar guna menciptakan kelancaran transportasi darat. Dalam waktu dekat, juga akan terwujud pembangunan jalan tol Solo-Semarang yang saat ini sudah memasuki tahap pembebasan lahan.
Selain membangun sarana dan prasarana, Pemprov Jateng juga membangun berbagai kluster industri di beberapa daerah sesuai dengan potensi unggulan setempat. Antaralain industri pengolahan logam di Tegal, industri pengolahan kayu untuk furniture di Jepara, industri jamur di Wonosobo dll. Sementara di dekat kota Semarang juga telah dibangun kawasan industri, termasuk adanya Tanjung Emas Processing Zone di kawasan pelabuhan yang merupakan salah satu pusat pengolahan komoditas berpotensi ekspor, yang menurut GM Tanjung Emas bisa dijadikan percontohan bagi industri terpadu di pelabuhan.
Konsep Hyperport
Menurut GM Tanjung Emas, Bambang Subekti ternyata juga menyimpan obsesi mengembangkan pelabuhan dengan konsep hyperport management. gagasan tersebut diilhami oleh menjamurnya toko serba ada di kota-kota besar, dimana pengunjung tak perlu dibuat bingung bila membutuhkan berbagai barang saat belanja di satu tempat.
Dengan dikembangkannya hyperport, pengguna jasa dapat leluasa melakukan transaksi di pelabuhan. Berdasar kajian akademis, didapat kesimpulan bahwa Tanjung Emas memenuhi syarat untuk dikembangkan menjadi pelabuhan besar. Tetapi untuk itu harus dilakukan redesign lehan peruntukan serta penambahan fasilitas dan alat, dan langkah awal gagasan itu sudah dimulai dengan menata ketertiban di lingkungan kerja pelabuhan.
Dalam waktu dekat ini juga akan dilakukan sterilisasi lini satu yang nantinya hanya akan terbuka bagi mereka yang punya kepentingan langsung dengan pelayanan kapal dan bongkar muat barang. Sedang untuk kegiatan administrasi, perkantoran, ruang publik pendukung kegiatan serta check in kapal penumpang, akan dibangun di luar ring bewaking. Untuk mengantisipasi arus kunjungan kapal dan bongkar muat yang tiap tahun selalu mengalami peningkatan, bisa dibangun fasilitas baru yang menjorok ke perairan yang sekaligusa menjauhkan gangguan rob yang rutin terjadi di Tanjung Emas. Selanjutnya akan disiapkan areal di sebelah barat untuk menampung kegiatan bongkar muat peti kemas, disamping untuk barang-barang curah.
Dari data semester 1/2008, untuk Arus Barang Curah Cair di Tg Emas mencapai 478.942 Liter, sedangkan di tahun 2007 telah mencapai 719.967 Liter, diharapkan ada kenaikan 5-10 % nantinya, Konsep hyperport management tersebut telah dipresentasikan di depan peserta Raker Pelindo III beberapa waktu lalu. Pelaksanaannya masih memerlukan waktu dan kajian lebih rinci. Seraya menunggu peluang tersebut, saat ini kami lebih focus dalam menyiapkan lahan untuk pembangunan tangki timbun untuk CPO dan aspal curah. Sementara itu untuk curah kering, PT Indocemen yang saat ini mempunyai kapasitas pasokan untuk seluruh wilayah perdagangan Jateng dan DIJ sebesar 9 juta ton akan segera ditingkatkan jadi 16 juta ton’.
(humas Pelindo III/nil)